Anda belum Log-in!
Silahkan Log in
Selamat Datang di Portal Digital Content Publisher
Jumat , 24 October 2025
Perpustakaan sebagai jantung pendidikan tinggi di Indonesia, harus mampu memberi kontribusi yang berarti bagi pelaksanaan proses belajar mengajar di perguruan tinggi.
di-posting oleh 210111100218 pada 2025-10-23 11:10:46 • 4 klik
PENYALAHGUNAAN WEWENANG HAKIM DALAM PENGAMBILAN PUTUSAN : STUDI ANALISIS PASAL 10 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO.48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN
MISUSE OF JUDICIAL AUTHORITY IN DECISION-MAKING: AN ANALYSIS STUDY OF ARTICLE 10 PARAGRAPH (1) OF LAW NO. 48 OF 2009 CONCERNING JUDICIAL POWER
disusun oleh ANANDA FEBRIANI
Subyek: | HAKIM—DISKRESI—INDONESIA |
Kata Kunci: | kekaburan hukum diskresi hakim penafsiran |
[ Anotasi Abstrak ]
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 memberikan kewenangan kepada hakim untuk memutus perkara meskipun hukum yang mengatur belum ada atau kurang jelas, dengan menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Namun, norma ini memunculkan kekaburan hukum karena tidak dijelaskan secara eksplisit batasan frasa “hukum tidak ada atau kurang jelas” serta “nilai keadilan masyarakat.” Berdasarkan teori kekaburan hukum (legal vagueness), norma yang tidak memiliki struktur normatif yang tegas berpotensi menyulitkan penafsiran dan membuka peluang penyimpangan. Akibatnya, prinsip legalitas yang menjadi dasar utama kepastian hukum dalam sistem peradilan menjadi lemah. Penelitian ini menganalisis bentuk kekaburan hukum dalam norma tersebut dan menilai bagaimana ruang diskresi yang ditimbulkan dapat menyebabkan konsekuensi yuridis yang serius. Dengan menggunakan teori diskresi hakim dan penafsiran hukum, ditemukan bahwa Pasal 10 ayat (1) menciptakan kewenangan luas bagi hakim tanpa kontrol evaluatif. Kondisi ini menjadi semakin kompleks ketika dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 yang turut mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat. Jika tidak diatur ulang secara normatif, diskresi tanpa batas ini berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan putusan, ketidakpastian hukum, dan turunnya legitimasi lembaga peradilan. Oleh karena itu, diperlukan reformulasi norma serta penguatan mekanisme pengawasan terhadap diskresi hakim agar tetap sejalan dengan prinsip keadilan dan supremasi hukum.
Deskripsi Lain
Article 10 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 grants judges the authority to decide cases even if the governing law is absent unclear, by exploring the values of justice prevailing in society. However, this norm creates legal ambiguity because it does not explicitly define the boundaries between the terms "absent unclear law" and "community values of justice." Based on the theory of legal vagueness, norms that lack a clear normative structure have the potential to complicate interpretation and open up opportunities for deviation. As a result, the principle of legality, the primary basis of legal certainty in the judicial system, is weakened. his study analyzes the forms of legal ambiguity within this norm and assesses how the resulting discretionary space can lead to serious legal consequences. Using the theory of judicial discretion and legal interpretation, it was found that Article 10 paragraph (1) creates broad authority for judges without evaluative control. This situation becomes even more complex when linked to Article 2 paragraph (1) of Law Number 1 of 2023, which also recognizes the laws prevailing in society. If not regulated normatively, this unlimited discretion has the potential to lead to unequal decisions, legal uncertainty, and a decline in the legitimacy of judicial institutions. Therefore, norm reformulation and strengthening of oversight mechanisms for judicial discretion are necessary to ensure it remains in line with the principles of justice and the rule of law.
Kontributor | : Dr.AHMAD AGUS RAMDLANY,S.H.,M.H |
Tanggal tercipta | : 2025-07-30 |
Jenis(Tipe) | : Text |
Bentuk(Format) | |
Bahasa | : Indonesia |
Pengenal(Identifier) | : TRUNOJOYO-Tugas Akhir-38342 |
No Koleksi | : 210111100218 |
Ketentuan (Rights) :
2025









Tidak ada !

Tidak ada !
